2,525 kali dilihat, 3 kali dilihat hari ini

Jakarta (Centangbiru) – Gamawan Fauzi, yang merupakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menjawab pertanyaan dan kerisauan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri soal perubahan di Sumatera Barat.

** Dalam enam bulan belakangan, paling tidak Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dua kali menyampaikankan keririsauannya tentang Sumatera Barat dan Minangkabau pada umumnya.

Pernyataan pertama pada welcome speech dalam Webinar “Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa” 12 Agustus 2021. Kedua, Senin (10/1/22) pernyataan lebih kurang sama disampaikan lagi dalam pidato politik pada acara peringatan HUT ke-49 PDI Perjuangan yang dilaksanakan secara virtual.

Pada intinya ada tiga hal yang disampaikan Bundo Mega dalam kedua kesempatan itu. Pertama, Sumatera Barat atau Minangkabau sudah berbeda dari yang beliau kenal, karena niniak mamak tidak tampak lagi oleh warga Sumatera Barat. Kedua, beliau bertanya kepada buya Syafii Maarif, kenapa Sumatera Barat berubah? Sudah tidak ada lagi tradisi musyawarah mufakat niniak mamak. Ketiga, Sumatera Barat kini tak lagi memiliki tokoh nasional yang populer seperti sebelum dan awal kemerdekaan.

“Pertanyaan saya, kan kita sebetulnya berbeda ya, artinya Bhinneka Tunggal Ika, tapi sebetulnya kita punya tradisi ninik mamak lho, saya sering bicara dengan Buya Syafii Maarif karena beliau juga Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, saya tanya kenapa sih Sumatera Barat kembali berubah ya Buya? Bukankah sudah tidak adakah yang namanya tradisi bermusyarah mufakat oleh ninik mamak itu?” ucap Megawati (Detik, Senin 10 Januari 2022 11:32 WIB).

Pernyataan Megawati yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube PDI Perjuangan inipun segera ramai dikutip oleh berbagai media nasional, lalo sontak menyebar di berbagai media sosial dan grup Whattsapp “urang awak” di seluruh dunia. Tentu saja berbagai komentar muncul sebanyak jumlah kepala yang menanggapi. Ada yang datar seperti run way Bandara International Minangkabau, ada yang melereng seperti kelok jalan di Lambah Anai, dan ada yang menanjak setinggi pendakakian Sitinjau Lauik.

Bagi kami itu biasa, karena itulah ciri masyarskat Minangkabau sejak dulu, kini dan masa datang dengan sikap egaliter masyarakatnya yang tak berubah dan jauh dari sikap faeodalisme dan paternalistik. Akan tetapi, apapun, ucapan Ibu Mega tentang Sumatera Barat yang mengandung pertanyaan dan kerisauan itu patutlah dimaknai secara positif sebagai bentuk kepedulian beliau kepada Sumatera Barat atau Minangkabau. Terlepas dari beliau punya darah keturunan Minangkabau

Kerisauan Ibu Mega adalah juga merupakan kerisauan sebagian masyarakat Minang sendiri. Karena itulah ada ungkapan yang berbau tekad, yaitu “Mambangkik Batang Tarandam” yang berarti ingin kembali mengangkat kejayaan masa lalu yang lama terkubur untuk kemajuan dan kebaikan di masa depan.

Persoalannya sekarang, benarkah masyarakat Minang berubah sehingga tak lagi memandang Niniak mamak? Dan benarkah Minangkabau kini tak punya tokoh populer seperti masa sebelum dan awal kemerdekaan?

Ninik Mamak dan Tradisi Musyawarah Mufakat

Seperti disinggung Ibu Mega, Minangkabau memang dikenal dengan konsep kepemimpinan “tungku tigo sajarangan” yang terdiri dari unsur-unsur ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai, serta keempat dengan unsur bundo kanduang (kaum perempuan) yang kedudukannya sangat dimuliakan. Dalam kehidupan demokrasi, masyarakat Minangkabau memiliki pula tradisi musyawarah mufakat sebagaimana kemudian telah diadopsi dan ikut menjiwai sila keeempat Pancasila: “Karakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Akan tetapi, ada yang mungkin belum atau kurang dipahami Ibu Mega yaitu tentang fungsi, peran, dan kedudukan ninik mamak dalam sistem sosial, serta adat dan budaya Minangkabau yang tidak menganut sistem kekuasaan terpusat. Dalam konsep “adat salingka nagari” di mana Minangkabau secara politik merupakan federasi ratusan nagari, dan setiap nagari memiliki otonomi sendiri-sendiri. Kebesaran, peranan dan kekuasaan ninik mamak (yang biasanya dikukuhkan dengan gelar Datuk) hanya ada di nagari, dan lebih khusus lagi di dalam kaum atau suku ninik mamak itu sendiri. Tidak ada konsep seorang ninik mamak bisa berkuasa atau berperan di luar nagarinya sendiri, apalagi sampai tingkat yang lebih luas seperti Provinsi Sumatera Barat atau Minangkabau secara keseluruhan.

Dalam konsep “adat salingka nagari” dan “pusako salingka kaum” hingga kini peranan dan funsi ninik mamak masih belum berubah. Segala keputusan di tingkat nagari, berbagai keputusan penting masih tetap melibatkan ninik mamak sebagai salah satu unsur “tungku tigo sajarangan”, kecuali untuk hal-hal yang sudah diatur dan ditetapkan dalam undang-undang negara, mereka tentu harus menyesuaikan. Namun dalam lingkup kaum atau suku, menyangkut harta pusaka, adat perkawinan hingga pewarisan gelar Datuk atau ninik mamak itu sendiri, tidak ada yang berubah. Tidak ada harta pusaka yang beralih status atau kepemilikan tanpa persetujuan ninik mamak, tidak bisa anak-kemenakan menikah tanpa proses yang terkait dengan ninik mamak atau kepala kaum. Tapi setiap keputusan dalam kaum tidak pula menjadi hak mutlak nini mamak saja, tetapi harus diambil melalu proses musyawarah mufakat.

Kalau membaca Tome Pires dalam Suma Oriental, orang mungkin akan terpesona bahwa pada awal abad ke-16 pengaruh Minangkabau sudah terlihat meliputi tiga perempat Pulau Sumatera, dari Batubara di Sumatera Timur hingga ke Andalas di Lampung, sampai ke Meulaboh di Aceh Barat. Tetapi kalau kita pahami, pengaruh dimaksud lebih dalam konteks pengaruh budaya, bukan dalam arti kekuasaan politik atau penaklukan geografis.

Perubahan dalam sudut pandang orang Minangkabau adalah sebuah keniscayaan, karena itu ada ungkapan “sakali aia gadang sakali tapian barubah” yang bermakna setiap fenomena atau kejadian tertentu akan membawa perubahan. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Namun demikian, dalam alam pikiran orang Minangkabau, ada yang boleh berubah dan ada yang harus dipertahanan tetap abadi dan hidup sepanjang masa. Yang tidak boleh berubah itu disebut sebagai “adat nan sabana adat” yaitu prinsip-prinsip dasar seperti yang tercermin dalam adagium “Adat bersendi syarat, syarak bersendi Kitabullah” (ABS-SBK). “Adat nan sabana adat” (adat yang sebenar adat) tersebut lahir dari hasil musyarah-mufakat seluruh masyarakat.

Minangkabau yang ditelorkan dalam musyawarah akbar pemuka-pemuka masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan “Sumpah Sati Bukik Marapalam”. Hal itu sudah menjadi kesepakatan umum dan didukung serta diakui oleh setiap orang yang mengaku orang Minang. Sehingga, setiap orang Minang yang, misalnya, keluar dari agama Islam, maka sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa mereka tidak lagi diakui sebagai orang Minang.

Aspek lain dari sistem sosial Minangkabau yang juga tidak berubah, dan insya Allah tidak akan pernah berubah, adalah sistem matrilineal dan hidup bersuku-suku. Suku (semacam clan) diturunkan menurut garis ibu. Berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem patrilineal, orang Minang mengambil suku dari ibu: dia bersuku Caniago atau Koto, karena ibunya bersuku Caniago atau Koto. Sampai saat ini belum pernah ada orang Minang yang mengubah sukunya selain suku ibunya.

Lalu dengan demikian, apakah orang yang terlahir dari ibu bukan Minangkabau – hanya berayah orang Minangkabau – tidak disebut orang Minang? Sama sekali tidak! Sistem kekerabatan menurut adat Minangkabau sangat luas. Bung Hatta dalam Seminar Besar Adat dan Sejarah Minangkabau di Batusangkar (1970) pernah mengatakan, yang disebut orang Minangkabau itu adalah “setiap orang yang mempunyai darah keturunan Minangkabau dan menghadap Kiblat”. Berdarah keturunan Minangkabau bisa dari pihak ibu maupun dari sisi ayah. Sedangkan menghadap Kiblat artinya beragama Islam.

Namun ada rumusan yang lebih luas yang disebut “dunsanak” atau saudara. Setiap orang diakui sebagai orang Minangkabau apabila “bertali darah” dan “bertali adat”. Bertali darah jelas memiliki garis keturunan. Bertali adat bisa berarti sangat luas. Laki-laki bukan orang Minang yang menikah dengan perempuan Minang, otomatis akan diakui sebagai bagian orang Minang karena ia disebut sumando dan (akan) menjadi ayah dari anak Minang. Bahkan “orang datang” seperti para transmigran dari daerah luar yang ditempatkan di daerah Sumatera Barat juga akan diakui sebagai orang Minang dengan cara “mengangkat mamak” atau yang biasa disebut “malakok”. Jadi sebenarnya, siapapun yang telah bertali adat dengan Minangkabau, berhak disebut orang Minang.

Selanjutnya, berkaitan dengan tradisi musyawarah mufakat yang juga menjadi kerisauan Ibu Megawati, tentu berkaitan dengan pilihan kita tentang sistem demokrasi di Indonesia. Bukan hanya persoalan Sumatera Barat atau daerah-daerah lain di Indonesia. Para Bapak Pendiri Bangsa kita telah dengan sadar memilih Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Dan soal sistem demokrasi telah dirumuskan dalam sila ke-4 Pancasila yang berbunyi: “Karakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Persoalannya, bagaimana kita mengimplementasikan dasar-dasar demokrasi tersebut, yang dalam UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali, juga telah ditegaskan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan dan tidak boleh diubah. Sama juga dengan ungkapan kerisauan Ibu Megawati dalam pidato politik Peringatan HUT ke-49 PDI Perjuangan hari Senin 10 Januari 2022 tersebut. Dalam pidato politik tersebut Ibu Mega juga menyentil Ketua DPR Puan Maharani yang juga merupakan putri beliau sendiri. Dalam hal ini, Ibu Mega mengatakan bahwa produk legislasi yang dibuat DPR kerap tak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal, UUD semestinya dijadikan acuan pembuatan undang-undang.

Ibu Mega mengatakan, UUD merupakan sumber segala perundangan. Oleh karenanya, pembuatan UU harus selalu mengacu pada UUD. Ia menyayangkan banyaknya UU yang tak berpedoman pada konstitusi. “UUD 1945 itu di situ katanya sumber segala perundangan, tapi terus di bawahnya seperti kayak tidak berhubungan atau kurang berhubungan menurut saya,” ujarnya.

Jadi, selain meninggalkan azas musyawaah mufakat, dalam praktik bernegara seperti pembuatan undang-undang, kita juga cenderung meninggalkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh para Pendiri Bangsa. Pantas saja Ibu Mega menjadi risau.

Soal Tokoh-tokoh Nasional Populer dari Minang

Kerisauan lain dari Bundo Mega adalah terasa sepinya Indonesia dari tokoh-tokoh nasional populer dari Minangkabau saat ini atau dalam beberapa dekade belakangan. Padahal, seperti dikatakan Ibu Mega, sebelum dan di awal kemerdekaan, peran orang Minangkabau di Indonesia sangat menonjol. Sebutlah tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Buya Hamka, dan banyak lagi.

Elizabeth E. Graves, sarajana dari Cornell University, Amerika Serikat, dalam bukunya Asal-Usul Elit Minangkabau Modern (Pustaka Obor, 2007) pernah menulis: “Saat proklamasi kemerdekaan, warga Indonesia yang berpendidikan, yang memiliki keahlian profesional dan kemampuan teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka itu masih sangat sedikit. Kebanyakan dari jumlah yang sangat sedikit itu, berasal dari Minangkabau, yaitu suatu kelompok suku yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang. Jumlah orang Minangkabau di lingkaran elite politik, intelektual dan profesional Republik yang baru merdeka ini amat tidak sepadan dengan jumlah penduduknya yang hanya 3% dari total penduduk Indonesia”.

Sejarah memang pernah mencatat bahwa Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai peranan menonjol di pentas nasional Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari dua hal; pertama dari sumbangan yang besar dalam khasanah pemikiran dan intelektualitas Indonesia; dan kedua, kontribusi dan peranan yang menonjol dalam melahirkan para pemimpin dan elite bangsa.

Ada masanya peran tokoh Minangkabau mencapai puncak kejayaan karena mampu memberikan kontribusi yang besar dalam proses perjalanan dan perkembangan bangsa ini. Perasaan itu terutama muncul pada awal hingga pertengahan abad ke-20, periode pergerakan hingga dekade pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ketika itu, peranan tokoh dan pemimpin pergerakan yang berasal dari tanah Minangkabau memang tampak sangat menonjol. Menurut Harry A. Poeze, sejarawan Belanda penulis Biografi Tan Malaka, ada tujuh tokoh yang disebut Begawan Revolusi Indonesia. Tiga di antara mereka adalah orang Minang: Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka -empat lainnya Soekarno, Sudirman, Amir Sjarifuddin, dan A.H. Nasution. Bahkan, sebuah majalah nasional terkemuka pernah menahbiskan “Empat Serangkai Pendiri Republik” yaitu Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka -tiga di antara mereka adalah orang Minang.

Jauh sebelum itu, orang Minang juga sudah dicatat sebagai ulama-ulama besar yang berpengaruh dan sangat dihormati dunia Islam. Di antaranya, sebutlah Syekh Yassin Al-Fadani, ulama ahli hadis yang hingga kini tetap dihormati di Saudi Arabia dan menjadi rujukan ulama se-dunia. Kemudian, ada pula Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar yang pernah menjadi Imam Besar Masjidil Haram dan merupakan guru dari dua Pahlawan Nasional pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhmamadiyah, 1912) dan K.H. Hasyim Asyhari (pendiri Nahdlatul Ulama, 1926).

Kalau kita bandingkan keadaan tujuh-delapan dekade lalu dengan kondisi beberapa dekade belakangan hingga dewasa ini, tentu cukup berdasar apa yang disampakan Ibu Megawati. Sudah kurang terlihat tokoh-tokoh asal Minang yang populer di tingkat nasional, terutama yang dimaksud Ibu Mega mungkin yang berkiprah di bidang politik dan pemerintahan. Walaupun sebenarnya masih ada Ibu Mega sendiri, Ketua Umum PDI Perjuangan, Ketua Badan Pengarah BPIP dan BRIN, serta pernah menjadi Presiden ke-5 Republik Indonesia, dan, jangan lupa pula, ada juga Puan Maharani, Ketua DPR saat ini.

Setelah Ibu Mega menyampaikan kerisauannya dalam Webinar Nasional “Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa” yang diadakan Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDI Perjuangan dalam rangka memperingati 121 tahun kelahiran Bung Hatta, 12 Agustus 2021, di mana kami juga diundang sebagai salah satu pembicara, soal itu sebenarnya sudah sempat kami jawab dalam talkshow yang diadakan sebuah stasiun TV nasional.

Di satu sisi, terlihat menurunnya peranan tokoh Minangkabau yang populer dalam elite nasional sesungguhnya adalah pertanda positif bagi kemajuan bangsa Indonesia. Orang Minangkabau dulu sangat menonjol -seperti hasil penelitian berbagai sarjana asing dan Indonesia sendiri- terutama disebabkan mereka sudah lebih dulu maju di bidang pendidikan di zaman kolonial abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Menurut catatan sumber Belanda, pada tahun 1925 jumlah seluruh sekolah di Minangkabau sama dengan dua kali jumlah sekolah yang ada di Pulau Jawa dan Madura (Tempo, 26 Juli 1986).

Belakangan, ketika bangsa Indonesia telah menikmati kemerdekaan dan mulai maju pula di bidang pendidikan, tentulah suku bangsa dan daerah lain sudah dapat pula ikut menyumbangkan sumber daya manusia mereka dalam semua aspek pembangunan bangsa dan negara kita.

Khusus bagi masyarakat Minangkabau, sebenarnya tetap menjadi kebanggaan, bahwa sekalipun peranan mereka terlihat tidak populer lagi, tetapi dari data dan fakta yang ada – seperti dicatat oleh situs Wikipedia – hanya ada dua dua suku bangsa di Indonesia yang tidak pernah absen menempatkan wakilnya dalam 41 kabinet pemerintahan Indonesia hingga saat ini. Keduanya adalah Suku Bangsa Jawa dan Suku Bangsa Minangkabau. Suku Bangsa Sunda saja, yang jumlahnya sekitar 15 persen – kedua terbesar di Indonesia – pernah beberapa kali tanpa ada wakil di kabinet.

Terlepas dari itu semua, secara umum sebenarnya orang Minangkabau tetap masih menyumbangkan tokoh-tokohnya di berbagai aspek kehiduapan berbangsa dan bernegara – tidak hanya di bidang politik dan pemerintahan. Kalau kita baca fakta dan data, hampir semua pos kabinet pernah diduduki wakil orang Minang. Demikian pula, orang Minang pernah menjadi pemimpin puncak di hampir semua BUMN besar yang ada dari dulu sampai sekarang. Di sisi lain, sementara sumbangan orang Indonesia asli makin menurun dalam perekonomian dan dunia usaha di negeri sendiri, masih terdapat sejumlah orang Minang yang menjadi pengusaha yang menonjol di Tanah Air. Demikian pula di bidang intelektualitas, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di saat belum pernah putra Indonesia yang tercatat sebagai pemenang Hadiah Nobel, masih ada dua putra Minang yang pernah meraih King Fasial Award yang dianggap Hadiah Nobel Dunia Islam, yaitu Mohammad Natsir (1980) dan Prof. Irwandi Jaswir (2018) yang kini bermukim di Malaysia.

Demikian pula dalam pencapaian Hadiah Magsaysay yang dianggap sebagai Nobel Asia. Dari segelintir anak bangsa Indonesia yang pernah meraihnya, salah satunya adalah putra Minang Buya Ahmad Syafii Maarif. Seorang putra Minang lagi, yaitu Prof. Azyumardi Azra, tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar bangsawan Sir dari Kerajaan Inggris berkat kontribusinya dalam pemikiran Islam.

Setiap Zaman Memiliki Tantangan Sendiri

Barangkali kita bisa sepakat dengan Ibu Mega. Bahwa setiap zaman memiliki tantangan, dan setiap zaman juga memiliki orang-orang besar pada zamannya. Tantangan yang dihadapi masa lalu terutama adalah memperjuangkan kemerdekaan melalui pergerakan politik dan memerlukan pemikiran yang luas tentang konsep dan nilai-nilai kebangsaan. Dan kebetulan orang Minang pada masa itu banyak putra-putra Minang yang memiliki kapasitas sangat mumpuni dalam memberikan kontribusi pemikiran dan mempelopori pergerakan.

Namun saat ini tantangan bangsa kita sudah berbeda dan spektrumnya semakin luas, bukan hanya di idang polirik dan pemerintahan. Tetapi juga di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, maupun di bidang ekonomi dan berbagai percaturan internasional. Sehingga orang Minang yang jumlahnya sedikit itu, juga tersebar di berbagai bidang kehidupan dan tantangan yang sangat luas itu. Dan cukup banyak pula di antara mereka yang menonjol dan berprestasi (dan mungkin tidak bopuler) di berbagai bidang yang sangat luar tersebut.

Terlepas dari semua diskursus yang kemi kemkakan, susungguhnya keririsauan Ibu Mega tersebut perlu dimaknai sebagai orang sehat oleh orang Minankabau untuk semakin gigih berjuang di gala lapangan kehidupan, dan menjadi cemeti untuk lehih banyak lagi berbuat dan berprestasi di segala sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mudah-mudahan dengan demikian kerisauan Ibu Mega berubah menjadi senyuman.**

Gamawan Fauzi adalah Gubernur Sumatera Barat (2005-2009) dan Menteri Dalam Negeri RI (2019-2014), dan Hasril Chaniago adalah seorang jernalis senior dan penulis buku-buku sejarah dan biografi.

(Detik/rdp-artikel-oleh-gamawanfauzi-hasrilchaniago-menjawab-kerisauan-bundo-mega-Selasa-11Januari2022-16.24WIB)